Tradisi Kebo-keboan Alasmalang, Singojuruh - Banyuwangi
Kebo-keboan, Tolak Balak dan Wujud Syukur pada Sang Pencipta
BANYUWANGI_Dhuta Ekspresi-Online: Meski zaman kian bergulir dan terus berusaha untuk melibas budaya-budaya lama, namun budaya warisan yang sudah turun temurun dilaksanakan rutin setiap tahun itu masih tetap bertahan dengan terus berupaya mempertahankan kemurnian dan kesakralan daripada kebudayaan itu sendiri. Adalah tradisi adat warga Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh, Upacara Ritual Kebo-keboan yang merupakan upacara sebagai wujud syukur terhadap Yang Maha Kuasa akan hasil bumi yang dihasilkan oleh warga setempat. Seperti apakah upacara ritual kebo-keboan yang digelar setiap 10 Syuro hingga pelaksanaannya mampu menyedot ribuan pengunjung?
KONON, ritual upacara adat “kebo-kebo”-an di Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh-Banyuwangi itu diperkirakan muncul sekitar abad ke-18 Masehi. Dikisahkan, pada saat itu masyarakat Desa Alasmalang dilanda musibah brindeng atau pagebluk (wabah penyakit) yang berkepanjangan. Yakni, jenis penyakit yang snagat menakutkan dan sulit diketemukan obatnya. Karena, bagi yang terkena pagi maka sore harinya akan mati, jika malam kena, paginya akan mati, begitulah seterusnya.
Selain itu, di tengah bencana seperti itu, masyarakat Alasmalang yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani itu pun, lahan pertaniannya dilanda hama tikus yang amat besar. Akibatnya, panenan menjadi rusak dan gagal.
Akhirnya, salah satu sesepuh desa yang biasa dipanggil Mbah Buyut Karti mengajak warga untuk melakukan ruwatan atau selamatan desa agar wabah brindeng atau pagebluk serta hama yang menyerang desanya segera lenyap. Anehnya, setelah ruwatan tersebut digelar, berangsur-angsur wabah pagebluk itu mulai berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Begitu juga dengan hama tikus yang menyerang lahan petani.
Meski demikian, meski wabah pagebluk dan hama tikus sudah sirna, namun warga masih tak bisa tenang. Lantaran, sawahnya menjadi kering dan keras untuk dicangkuli karena kemarau yang berkepanjangan. Akhirnya, Mbah Buyut Karti menganjurkan untuk memakai kerbau dalam membajak sawahnya.
Dan upacara ritual “kebo-kebo”an adalah upacara di mana manusia dihiasi seperti kerbau. Di mana, kerbau yang diperankan manusia itu melambangkan betapa hubungan mitra antara petani dengan kerbau harus dipertahankan. Selain bertanduk, coretan hitam yang mewarnai seluruh badan orang yang dihiasi seperti kerbau itu dilambangkan sebagai simbol bahwasanya kerbau adalah salah satu binatang yang kuat dan merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat Alasmalang yang mayoritas sebagai petani.
Ada pun tahapan dalam upacara tersebut terbagi menjadi beberapa tahapan. Di antaranya, tujuh hari sebelum pelaksanaan, sang pawang melakukan meditasi di beberapa tempat yang dianggap keramat. Yaitu, di Watu Loso, -sebuah batu yang berbentuk seperti tikar,- Watu Gajah, -batu yang berbentuk seperti gajah,- dan Watu Tumpeng, -batu yang berbentuk seperti tumpeng,-.
Dan yang paling dikhawatirkan adalah di Watu Loso. Karena di tempat yang merupakan tempat Mbah Buyut Karti dimakamkan, pun dalam melakukan meditasi di tempat tersebut diperlukan semacam kekuatan ekstra untuk berkomunikasi di tempat tersebut. Dan pawang yang bertugas menangani upacara ritual tersebut sebanyak 5-6 pawang yang bertugas secara bergantian setiap tahunnya. Dan para pawang itu pun harus keturunan dari Mbah Buyut Karti.
Acara puncaknya dilaksanakan setiap pada 10 Syuro. Yakni, selamatan di empat penjuru pojok desa, selamatan tumpeng di perempatan jalan di Dsn. Krajan, Alasmalang secara bersama-sama, ider bumi, dan puncaknya yaitu waktu goyangan. Dan semua tahapan itu harus merupakan kesatuan utuh yang tidak boleh ditinggalkan.
Menurut salah satu generasi ke-4 dari keturunan Mbah Buyut Karti, Drs. Subur Bahri, Msi, tujuan upacara ritual adat itu adalah untuk menolak balak (berbagai macam penyakit) sekaligus sebagai rasa terima kasih masyarakat dengan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar poses pertanian cepat menghasilkan hasil panen sebagaimana yang diharapkan.
“
Ada semacam keganjalan sebagai niat manakala tidak melaksanakannya. Hal ini pernah terbukti semasa masyarakat tidak melaksanakan, yaitu pada tahun 1970-an, ternyata ada salah satu warga dari RT 05 bernama Abdillah kesurupan. Yang intinya meminta agar upacara adat kebo-keboan dihidupkan kembali. Jadi mulai tahun 1970 itu kebo-keboan rutin dilaksanakan, tapi tidak semeriah seperti sekarang ini,” ungkap Subur kala itu. Ketika ditanya mengapa tumpeng yang dipakai selamatan berjumlah 12? Dijelaskannya, tumpeng itu boleh lima juga boleh juga dua belas. Untuk tumpeng berjumlah lima, lanjutnya, melambangkan sebagai warga muslim harus mendirikan sholat lima waktu seperti yang dianjurkan agama. Sedangkan tumpeng berjumlah dua belas, sebagai perwujudan bahwa dalam setahun ada dua belas bulan.
“Unsur mistiknya tinggi sekali mas, saya lihat tadi ada yang kesurupan. Ternyata panitia keteledoran dalam memberikan kelengkapan upacara. Sesajinya kurang, selama ini kita tidak pernah memberikan nasi gurih. Ternyata ada semacam tamu datang, saya sempat komunikasi dengan kekuatan itu, saya tanya tamu itu dari Balung, Jember. Dan katanya yang kurang itu nasi gurih,” lanjutnya.